Are You Busy or Ignoring Me?
“Panas sekali hari ini, bukankah seperti itu, Rahil?”
“Bukankah panas seperti ini sudah biasa? Mengapa kau
mempermasalahkannya?”
“Panas kali ini berbeda Rahil, lihat mereka!”
“Oh, ternyata sumber kepanasan yang kau rasakan dari situ. Sudah ah,
aku pulang dulu.” Rahil merapikan sarungnya dan bergegas meninggalkan Musola
“Rahil, tunggu aku!” Abi
mengejar Rahil yang sudah berjalan mendahuluinya. “Mengapa Kau tergesa-gesa?
Sebentar lagi mereka akan melakukan hal yang lebih panas. Kau tidak ingin
melihatnya Rahil?”
Dengan tajam Rahil bertanya,
“Apakah Kau pernah melihatnya?”
“Tentu Saja, Rahil. Mereka akan melakukan....”
“Apakah Kau pernah melihatnya??? Untuk apa Kau melihat hal seperti
itu? Untuk apa Kau mengotori kedua matamu kepada hal-hal yang tidak berguna?”
Pertanyaan tersebut memotong pernyataan Abi.
Abi kaget karena pernyataanya telah dipotong oleh Rahil sekaligus diberi
pertanyaan yang sangat menohok hatinya. Rahil memang dikenal sebagi orang yang
tegas dan tajam dalam berbicara, apalagi dalam menyuarakan kebenaran.
“Eh, Maafkan aku Rahil. Aku memang pernah melihat mereka melakukan
sesuatu hal yang tak perlu di jelaskan karena...karena...karena aku pernah
menjadi salah satu bagian dari mereka. Maafkan aku, Rahil. Maafkan aku,
mengatakan sesuatu hal yang seharusnya tidak kukatakan.”
“Sudahlah, aku juga hanya memperingatkanmu. Sesuatu hal yang tidak baik
harus segera dilupakan sebelum hal tersebut memintamu kembali untuk
melakukannya. Apakah kau menginginkan hak itu kembali terjadi, Abi?”
“Tentu saja tidak, Rahil. Doakan agar aku mampu beristiqomah menuju
Ridha Allah.”
“Saling mendoakan, bukankah lebih baik?” jawab Rahil.
“Na’am Ya Akhi. Ilaa ayna anta?”
“Ke Panti Asuhan. Mengajar Tahfidz. Kau ingin ikut dengan ku?”
Meskipun usia Rahil masih muda, 23 tahun. Ilmunya sudah sangat banyak
dibandingkan mereka seusianya. Saat ini beliau menjadi relawan di panti asuhan
di Jawa Timur untuk mengajarkan Al-Quran dengan metode tilawati. Selain itu,
Rahil juga menjadi pengajar tetap di Griya Quran.
“Tidak sekarang, Rahil. Hari ini aku ada pertemuan di balai kota.”
“Baiklah, Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Bagi Rahil, memberi manfaat bagi sekelilingnya adalah suatu
kewajiban. Menebar kebaikan adalah sebuah tanggung jawab. Menjadi sumber
kebahagian adalah suatu keharusan.
“Semoga Abi bisa istiqomah,Ya Rabb.” Ujar Rahil dalam batin.
Abi memang baru saja berhijrah. Menemukan jati dirinya yang sempat
tersesat pada jalan yang kelam. Rahil menemukan Abi bearada dipojok jembatan
yang sepi dalam keadaan menggigil dan hanya menggunakan celana pendek, pada
suatu malam. Entah dimana keberadaan baju dan tas milik Abi. Saat itu, Rahil
memang mengendarai sepeda ontelnya dengan perlahan untuk
menikmati indahnya pemandangan malam. Dia baru saja pulang dari tugasnya
mengajar di panti asuhan. Tanpa banyak bertanya, Rahil menggendong Abi untuk
membonceng sepeda ontelnya. Abi yang sudah sangat tak berdaya,
membiarkan saja tanpa kata.
Hingga keesokan harinya, setelah Rahil melaksanakan Solat Subuh dan
Muroja’ah bacaan AlQuraanya, Abi bertanya kepadanya. Mengapa Rahil menolongnya.
Mengapa Rahil menolong orang yang tidak dikenal. “Engkau adalah saudaraku.”
Jawab Rahil.
“Hanya itu?” Tanya Abi dengan mengernyitkan dahi. Dia tidak
mengerti, mengapa jawaban yang diberikan tidak masuk akal. Sejak kapan aku
menjadi saudaranya? Lagi pula aku tidak mengenalnya.
“Setiap orang muslim adalah saudara. Jika engkau susah aku merasa
susah. Jika engkau sakit aku merasa sakit. Jika engkau sedih aku merasa sedih.
Jika engkau bahagia maka aku akan bahagia. Kita adalah satu anggota tubuh yang
saling merasakan.” Ucap Rahil dengan mantap tanpa mengalihkan pandangannya dari
mushaf AlQuran.
“Bagaimna kau tahu.... kalau aku seorang muslim?”
“Apa kau tidak tahu? Kita satu kampus, aku pernah melihatmu bersama
dengan teman-teman mu duduk bersenda gurau di depan masjid, ditambah lagi aku
pernah melihatmu mengikuti kegiatann wajib kampus dalam acara mabit di bulan
Ramadhann.”
Jawaban Rahil membuat Abi kagum. Bahkan dirinya tidak mengenal Rahi
akan tetapi mau menolongnya. Ternyata Allah menurunkan Hidayah kepada Abi
melalui Rahil. Abi menangis. Dia teringat kejadian malam tadi. Bahkan teman-
teman satu gengnya yang sudah sangat dikenal meninggalkannya untuk
mencuri uang dan mobil miliknya. Sedangkan Rahil? Dia hanya orang baru untuk
Abi.
“Aku menyesal, tidak memanfaatkan waktuku dengan baik. Aku menyia-
nyiakan waktu ku pada suatu hal yang sangat tidak berguna. Aku menyia- nyiakan
waktu yang diberikan oleh Tuhanku yang seharusnya diisi dengan kebaikan.” Abi
mengatakan itu semua dengan penuh penyesalan, airmata mengalir dipipinya.
“Kembalilah Kepada Tuhanmu, Saudaraku. Allah menunggu taubatmu
saudaraku. Allah selalu menerima Orang yang bertaubat dengan sungguh- sungguh.”
Ucapan Rahil menenangkan Abi.
“Aku sibuk Rahil.”
“Sibuk?” Rahil mengernyitkan dahinya.
“Iya Rahil, Aku sibuk. Sibuk dengan urusanku sendiri. Sibuk untuk
bersenda gurau dengan perempuan-perempuan. Sibuk bermain gadget sepanjang hari
untuk mengaploud kegiatan ku sehari- hari. Sibukku tidak berguna. Dengan sengaja...aku
sibuk untuk mengacuhkan Tuhanku. Ya allah.. Ya Tuhanku... Ya Allah Yang Maha
pengampun. Maafkan lah hamba mu ini...” Ucap Abi dengan menangis tesedu-sedu.
“Mari saudaraku, kita niatkan hati untuk kembali kepada Nya karena
sesungguhnya Allah yang Maha Mulia itu “cemburu”. Kecemburuan Allah yaitu jika
orang mukmin melakukan apa yang diharamkan. Hati manakah yang tak pernah ada
lintasan cemburu, sebuah gejolak bergemuruh yang begitu saja mengubah cinta
menjadi letupan- letupan murka? Saat ini ubah sibukmu menjadi benar- benar
sibuk untuk selalu menginatNya dalam keadaan apapun. bukan pura- pura sibuk
untuk mengacuhkan Tuhan mu.”
Dalam perjalanan menuju Panti Asuhan kali ini, Rahil terlihat lebih
baik daripada biasanya. Rahil menatap langit, beberapa awan bergerak, menghalau
sinar matahari. Rahil berdehem, mengembalikan fokusnya. Kemudian Rahil
mengucapkan Hamdalah sepanjang perjalanan. Rahil sangat bersyukur.
------------------------------------------------------------------
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan untuk bertaubat kepada
Allah SWT. Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan untuk mencari Ridha
Allah SWT. Saya dilahirkan di Magelang pada
06 April 1999, atas nama Anas Tasya Alba Mughofaroh di kasur empuk dalam
dekapan Bunda. Saat ini saya menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin,
jurusan Tafsir Quran dan Hadis di Surabaya. Menjadi Hafidzah merupakan salah
satu cita- cita saya dari sekian banyak cita- cita, alkhamdulillah saat ini
saya sedang menempuhnya. Hidup memang butuh perjuangan dan tentunya harus lebih
baik dari sebelumnya J. Man
Jadda wa Jadda, itulah prinsip saya. Saya pernah menjadi pemenang Lomba juara 1
menulis artikel literasi tentang perpustakaan tahun 2015 tingkat Kota Magelang.
Juara 1 Lomba menulis artikel literasi perpustakaan tahun 2016. Juara 4 Tingkat
Provinsi Jawa Tengah Lomba artikel
populer tahun 2015. Menjadi peserta lomba menulis book publisher II. Dari lomba
yang saya ikuti, banyak pengalaman yang saya dapatkan. Jikalau ada pertanyaan,
siapa inspirasi Anda? Saya pasti akan menjawab dengan lantang, IBU SAYA. Saat
ini saya menggunakan nama pena “Acha Motaracita”. Selamat berkarya!!:)
Untuk info lebih lanjut silahkan hubungi:
Fb: Anas Tasya
Alba M
IG: tasyaanas899
No Hp/ WA: 085643770037
Email: tasyaanas899@gmail.com
WassalamualaikumWarrahmatullah Wabarakatuh.:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar